Kenangan Papandayan

bacalah ...
isyaratmu padaku
yang terpahat di gunung
yang terselip di awan

entah mengapa
ku hanya mengeja di balik hati
hingga sunyi yang terdengar

                                                    [ firman rissaldi ]  


HANS BERGEGAS MENGIKAT TALI SEPATU, dia tak dapat membiarkan pikirannya berkelana. Sebelum magrib dia harus mendapatkan penginapan, agar malam ini dapat menapaktilasi  jalan-jalan di kota Garut. Pada beberapa orang yang sudah selesai sholat, Hans menanyakan lokasi hotel. Hampir semua merekomendasikan hotel di kawasan Cipanas. Sebuah kawasan wisata yang terkenal dengan air panas alami yang berasal dari Gunung Guntur. Sejak dulu kawasan Cipanas selalu dipadati wisatawan dari kota Bandung bahkan Jakarta, terutama memasuki Jumat sore sampai dengan Minggu malam. Namun saat ini Hans lebih memilih hotel atau penginapan di tengah kota Garut agar dapat mengakses sumber berita lebih cepat. Akhirnya, seorang pegawai berseragam PNS memberitahu Hans sebuah alamat penginapan yang ada di tengah kota, Losmen Papandayan di jalan Ciledug.

Entah kebetulan atau tidak, nama Papandayan memiliki arti tersendiri bagi Hans. Ketika SMA bersama sahabatnya seringkali hiking dan camping di Gunung Papandayan. Kenangan pada Beler, Tanto dan Tomat tiba-tiba membanjiri batin. Entah kemana gerangan mereka kini, Hans merindukan sahabatnya.

Hans mengagumi kesungguhan Beler, pernah suatu kali Beler memaksakan diri bekerja menjadi kuli bangunan agar punya uang untuk bekal berangkat camping ke Gunung Papandayan.  Memang di antara kami, kondisi ekonomi orang tua Beler pas-pasan. Beler nekat mendatangi pa Dahlan, salah satu warga yang cukup berada di lingkungan kami. Saat itu rumah pa Dahlan memang sedang direnovasi untuk membangun lantai 2. Terharu dengan semangat dan kesungguhan Iwan, pa Dahlan akhirnya setuju mempekerjakan Iwan selama lima hari dengan upah dua puluh lima ribu rupiah per hari. Hans yang tadinya tidak berniat sama sekali menjadi kuli akhirnya ikut terjun untuk membantu Beler. Dalam hatinya, Hans berterima kasih kepada Beler, karena dengan melakukan kerja kuli, Hans dapat merasakan pahitnya mencari uang dengan upah kecil seperti kuli.

Sopir angkot berhenti di persimpangan jalan Ciledug dan Citarum, dengan logat kental Priangan Timur dia menunjukan posisi Losmen Papandayan yang hanya berjarak kurang dari 50 meter dari tempat angkot berhenti. Lokasi ideal karena tidak terlalu jauh dari keramaian kota seperti Pasar Ciplak, Alun Alun atau Supermarket kelas menengah. Hans menatap langit senja, berharap tak ada hujan nanti malam. Malam yang panjang.

Hans melangkahkan kaki memasuki ruang resepsionis Losmen Papandayan. Dari arah dalam bergegas seorang lelaki ramah dan tersenyum berjalan ke arah Hans. Umurnya tidak akan lebih dari 25 tahun, namun sepertinya cukup berpengalaman mengajak orang untuk tersenyum.

"Saya Abdul, ada yang bisa kami bantu pak ? ", senyum lebarnya tak pernah lepas.
"Yup ... saya perlu satu kamar untuk 4 sampai dengan 6 hari", Hans balik tersenyum pada Abdul. Mengembalikan energi positif yang Hans terima darinya.
"Siap pak ... pilih lantai 1 atau lantai 2 ? Semua kamar sama fasilitasnya Single Bed, AC, TV dan kamar mandi".
"Hmmm ... saya pilih lantai 1 deh, biar gak naik turun".

SOSOK ABDUL MENGINGATKAN HANS PADA SAHABATNYA, TANTO. Kesan paling menonjol, Tanto merupakan orang yang murah senyum dan ramah. Wajah bulat telur dan tubuh gempal melengkapi sosok humoris. Tak sekalipun sepanjang persahabatannya, Tanto marah pada sahabat yang lain. Sepanas apa pun situasinya, Tanto selalu bisa meredam emosi dengan komentar sejuk. Bagi Tanto, dengan senyum semua masalah bisa disingkirkan.

Pernah suatu kali induk semang tempat kost kami pa Hamami, memarahi Tanto tanpa alasan jelas. Kata-kata kasar yang berhamburan dari mulut pa Hamami tak cukup kuat untuk menggoyang emosi Tanto.
"Heh, Tanto kamu ngerti gak sih. Kamu kan anak kuliahan. Bapak sudah berkali kali bilang jangan parkir motor sembarangan, bikin susah penghuni lain", temperamen pa Hamami melonjak.

"Iya pa, maaf. Saya pindahin sekarang", Tanto sambil menahan senyum memindahkan motor. Hans dan Tanto siapa sebenarnya yang parkir sembarang, siapa lagi kalo bukan Tomat, panggilan akrab dari Tomat.

Menurut Hans kata yang tepat untuk Tomat adalah "kontroversi". Rasa cuek dan tidak peduli menjadi kebiasaannya. Semua situasi dianggap enteng oleh anak yang nama aslinya Tomi. Berulangkali Hans dan sahabatnya mengalami situasi yang tidak jelas gara-gara Tomat. Kejadian yang paling diingat Hans adalah ketika mereka janjian nonton AC Milan di Stadion Utama Senayan. Empat lembar tiket sudah dibeli oleh Tomat tiga hari sebelumnya. Sampai dengan hari H pertandingan tiket masih dipegang oleh Tomat, akhirnya kami sepakat bertemu di pintu VIP Barat Senayan plus wanti-wanti pada Tomat agar jangan terlambat.

Hans, Beler dan Tanto sudah datang di Senayan dua jam sebelum pertandingan di mulai. Mereka merencanakan satu jam sebelum pertandingan sudah duduk di dalam stadion. Namun yang terjadi kemudian adalah apa yang ditakuti mereka semua, kebiasaan jam karet  Tomat. Dua jam ... , satu jam ..., setengah jam ... sampai dengan kickoff pertandingan AC Milan vs Persib dimulai, batang hidung Tomat belum muncul juga. Ternyata Tomat asyik pacaran dengan pacarnya di bioskop. Dia baru datang setelah pertandingan berjalan 30 menit. Sulit dilupakan bagi Hans yang hobbi sepakbola.

SELEPAS MANDI, ADZAN MAGRIB BERKUMANDANG BERSAMA Ufuk merah jingga menyeruak dari jendela kamar losmen. barat





xx
xx
xx