Jalan Pulang



Andai kutemukan jalan pulang …
ijinkan aku mengetuk pintu rumahmu
tuk sekedar menyapa 

Andai …
tak kutemukan itu semua
beri aku RINDU
rindu yang membuat aku mati
karena aku harus mati

                                                                   [ firman rissaldi ]

 
Edelweis putih, tiba tiba menyeruak di benak pria itu ketika berhasil  bergelayutan di  pintu belakang sebuah bis antar kota. Dia berusaha keras mengingat lagi sebait puisi yang pernah diciptakannya tentang bunga edelweis dan kota yang akan dikunjungi seminggu ke depan. Dia berusaha keras, namun ide tentang puisi itu tak jua hadir. Hanya rasa yang bergetar perlahan, bersamaan bergeraknya bis yang ditumpanginya menuju jalan tol.

Andai telat beberapa detik saja, pria itu mungkin sudah basah kuyup di bawah hujan deras yang mengguyur tapal batas kota Bekasi. Beruntung bis antar kota yang ditunggunya lebih dari dua jam, datang tepat pada waktunya. Menyelamatkan ransel coklat dan kemeja biru donker bergaris putih yang dikenakannya.

Berjalan di koridor bis, pria itu mengangkat ranselnya ke bahu sambil mencari kursi yang masih kosong. Tokoh kita memilih duduk di dekat jendela, tepat di belakang sopir. Posisi yang tepat untuk menghindari asap rokok yang bergulung di langit-langit bis. Potret tidak sehat transportasi kelas ekonomi di Indonesia. Ranselnya berpindah tempat, terhimpit di antara kedua kakinya.

Bis melaju dibawah deras hujan, tokoh kita mengibaskan tirai jendela dan melayangkan pandangan ke luar. Berharap ada sesuatu yang menarik di luar sana. Dia mengamati deretan rumah yang berjajar di pinggiran jalan tol kota Bekasi. Sesekali perumahan atau real estate mewah diselingi dengan tanah kosong yang dipenuhi ilalang atau rumah-rumah perkampungan.

Tinggal menunggu waktu, untuk menyingkirkan orang-orang kampung dari tanah leluhurnya. Tak ada lagi rumput untuk kambing mereka, tak ada lagi tanah untuk pohon rambutan orang kampung. Modernisasi kota tidak peduli dengan nostalgia jiwa-jiwa orang di perkampungan. Uang mengoyak dan menggerus tanah, kambing, ikan rawa dan pohon rambutan milik orang-orang kampung.

Di puncak kelelahan tubuh, lelaki itu tertidur di bawah cuaca yang gelisah. Hujan di luar makin deras, seakan mencoba memberitahu kepada lelaki itu bahwa akan badai di depan. Seandainya dia bisa melihat apa yang akan terjadi di masa depan, mungkin dia tidak akan melanjutkan perjalanan ini. Perjalanan menuju pusat lingkaran badai dalam hidupnya. Rintik hujan makin liar, bersama deru angin tak mampu mengusik lelah seorang lelaki.

=== (0) ===

LELAKI DENGAN NAMA PANGGILAN HANS, melewati masa kuliah di ibukota Jakarta, dia kembali ke kota itu tiga hari yang lalu. Hans memutuskan kembali ke Jakarta setelah sebuah perusahaan media internet di Jakarta menerimanya menjadi seorang wartawan. Kali pertama setelah lima belas tahun lari dan bersembunyi dari kekacauan Jakarta.

Hans berumur 37 tahun, lajang dan belum pernah menikah. Berkacamata dengan wajah hitam legam  menggambarkan orang lapangan. Postur sedang, tidak kurus tidak juga gemuk dengan tinggi rata-rata seperti kebanyakan pria Indonesia sekitar 165 cm. Garis uban putih mulai terlihat di rambutnya. Pendiam, lebih senang menyendiri dan menyukai aktivitas tulis menulis. Menyendiri  bukan pilihan dan bukan tanpa alasan. Sebuah perkelahian yang berakhir dengan  kematian lima belas tahun silam memaksa Hans berlari dan bersembunyi. Pematang Siantar, kota kecil di Sumatera Utara menjadi pilihannya untuk menyembunyikan diri dari pantauan aparat kepolisian dan balas dendam. Zikri salah satu sahabat Hans di kampus, menitipkan dirinya kepada salah satu pamannya yang ada di Pematang Siantar.

Sadar akan kondisinya yang sebatang kara di tanah perantauan, Hans berusaha untuk mandiri dengan menulis dan menjadi wartawan freelance. Di bawah harian lokal "Kabar Siantar", Hans menuangkan bakat menulis dan mengasah diri menjadi seorang jurnalis. Pada awalnya Hans banyak menulis opini tentang pertandingan Liga Inggris. Di setiap sabtu dan minggu, setelah pertandingan berakhir dia selalu posting dalam blognya dan mencetak dalam satu dua lembar kertas A4 untuk dikirimkan ke meja redaksi "Kabar Siantar".
Perlahan-lahan tulisan Hans mulai mendapat perhatian dan diberikan tempat oleh redaksi "Kabar Siantar". Akhirnya Hans diminta melakukan peliputan apa pun yang terjadi di Pematang Siantar dan sekitarnya.

===

SETELAH KELUAR DARI JALAN TOL PADALEUNYI - BANDUNG, bus bergerak ke arah selatan, dari Bandung menuju Garut, di belokang pertama si sopir menginjak rem secara mendadak untuk menghindari seorang penyebrang jalan yang mendadak melintas di tengah jalan. Klakson menyalak keras dan sontak Hans terbangun. Rasa kesal melanda sopir dan para penumpang bis, begitu juga dengan Hans yang tidurnya terganggu.

Perjalanan dilanjutkan, rasa kantuk Hans telah pergi. Perhatiannya dipusatkan pada pemandangan sepanjang jalan. Kali ini rumah-rumah desa dan ruko mendominasi bangunan di pinggir jalan. Sesekali ada restoran khas Sunda yang menawarkan suasana desa dengan latar belakang sawah yang indah.

Penumpang sebelah berkata lirih, menanyakan maksud kedatangan Hans ke kota Garut. Mungkin untuk memecah kebosanan perjalanan ini.

"Saya wartawan", Hans menjawab singkat, dia tidak menduga akan ditanya.

"Saya akan meliput Pemilihan Daerah dan kasus korupsi Bupati Garut", mencoba menjelaskan lebih lanjut berharap orang ini nantinya bisa membantu di Garut.

"Ketika Dicky Chandra mencalonkan diri menjadi wakil bupati Garut, semua koran di Bandung dan Garut mengangkat beritanya", jawab teman sebangku Hans.

Hans tidak dapat menebak, apakah orang ini pendukung Dicky Chandra atau bukan. Namun cukup terbaca bahwa popularitas Dicky Chandra telah merebut perhatian orang ini dan mungkin saja hal yang sama sudah merasuki sebagian penduduk kota Garut.

Kolaborasi antara selebiritis dan partai politik menjadi trend dan jalan pintas untuk merebut hati rakyat yang akan menjadi pemilih. Kemenangan Dede Yusuf yang didukung oleh PAN dan PKS kemudian di copy-paste dalam pilkada daerah lain.

Akhirnya dari pembicaraan tanpa tujuan ini, Hans mengetahui bahwa pria ini baru saja mengikuti seminar di Jakarta tentang pembinaan sepakbola generasi muda. Dia adalah salah satu pemilik klub sepakbola yang membina remaja kota Garut. Ada rasa senang dari nada bicaranya ketika mengetahui bahwa Hans juga menulis tentang sepakbola. Demikian juga  sebaliknya dengan Hans, ada rasa hormat pada pria ini karena cita-cita pria itu melahirkan bibit pesepakbola di Garut.

Ada rasa tenang di hati Hans berbincang dengan pria ini. Sejak berangkat dari Pematang Siantar Hans selalu dihantui kecemasan masa lalu. Lima belas tahun dengan rapi Hans menyembunyikan diri dari pantauan musuh-musuhnya.

Hans teringat bagaimana dirinya kehilangan komunikasi dari orang-orang yang dicintainya. Tak ada email, tak ada chatting, tak ada SMS, tak ada facebook, tak ada komunikasi sama sekali dengan masa lalunya termasuk dengan keluarganya. Ini masalah hidup mati, semua dikubur agar dia dapat melanjutkan hidupnya. Melalui Zikri dia dapat mengabarkan kepada orangtuanya bahwa dia baik baik saja di persembunyian.

Tepat pukul empat sore lebih dari lima belas menit, bis mulai merayap perlahan memasuki kota Garut. Sepanjang jalan di penuhi dengan spanduk-spanduk yang dipenuhi dengan slogan kampanye pasangan calon bupati. Hans tidak lagi mengenali sudut sudut terminal Guntur yang dikenalnya lima belas tahun silam. Musholla kecil berwarna hijau muda tidak ada lagi di sisi timur terminal.

Hans melangkah turun dari bis. Kakinya menyentuh aspal basah sisa hujan tadi siang. Udara dingin menusuk tulang, merayap melalui sela-sela kemeja dan celana panjangnya. Hans berusaha tenang, menghirup nafas dalam-dalam. Kenangan kota ini bergejolak berusaha keluar, ingin teriak sekencang-kencangnya. Hans langsung menuju masjid di luar terminal, dia harus menunaikan sholat Ashar.


===

Udara yang kuhirup tak seperti dulu, ketika kujejakan kaki di kota yang kutinggalkan dua puluh tahun silam. Wajah kota tak lagi berhias Gunung Guntur, tertutup modernisasi ruko dan rumah makan ala kota-kota besar. Bau tanah sawah yang dulu menyengat hilang sudah berganti dengan aroma premium. Gemerincing delman tak lagi kudengar, digilas oleh deruman mesin kendaraan bermotor.

Kulangkahkan kaki menuju pusat kota Garut, meninggalkan terminal bis yang begitu asing bagi jiwaku. Sebelum malam harus kudapatkan penginapan.